Sebelum berbicara tentang puisi baiknya kita mengenal pengertian
sastra terlebih dahulu. [1]Sastra adalah
seni bahasa (poetic language), sejajar
dengan seni-seni lainnya, seperti seni lukis, seni patung, seni tari dan
seterusnya. Ia menyampaikan pesan melalui medium simbolis. Jadi, kenikmatan
seni tidak berhenti pada kenikmatan sensual, tetapi berlanjut pada kenikmatan
intelektual.
Setiap karya
sastra (poetic language) adalah
tanda, yaitu kesatuan penanda (bentuk/struktur) dan petanda (isi). Tidak ada
dualisme antara penanda dan petanda atau antara bentuk/struktur dan isi.
Selanjutnya, hubungan antar tanda disebut sintaksis, hubungan tanda dan
acuannya disebut semantik (makna), dan hubungan tanda dan pemakaiannya disebut
pragmatik. Tanda juga dibedakan atas ikon, indeks dan simbol. Karya sastra
sebagai tanda adalah simbol, yang membutuhkan penafsiran untuk memahaminya atau
menemukan maknanya. Dalam penafsiran aspek semantik mendapatkan fungsinya,
karena pemahaman adalah menghubungkan tanda (dunia fiksi yang diciptakan
pengarang) dan acuannya (dunia ‘nyata’).
Puisi adalah seni sastra tertulis yang menuangkan hasil pemikiran dan perasaan manusia di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya,
atau selain arti semantiknya. Dengan kata lain puisi
menekankan kemahiran, dan keindahan dalam mengolah bahasa tanpa mengesampingkan
isi atau kandungan makna. Perjalanan kepenyairan seorang penyair dapat
memperkaya gaya bahasa dan bahkan dapat menciptakan bahasa baru.
[2]Penekanan
pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan pengulangan, meter dan rima yang
membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan. Pandangan
kaum awam biasanya membedakan puisi dan prosa dari jumlah huruf dan kalimat
dalam karya tersebut. Puisi lebih singkat dan padat, sedangkan prosa lebih
mengalir seperti mengutarakan cerita. Beberapa ahli modern memiliki pendekatan
dengan mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur tapi sebagai
perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain
itu puisi juga merupakan curahan isi hati seseorang yang membawa orang lain ke
dalam keadaan hatinya.
Baris-baris pada puisi dapat berbentuk apa saja (melingkar, zigzag dan
lain-lain). Hal tersebut merupakan salah satu cara penulis untuk
menunjukkan pemikirannnya. Puisi kadang-kadang juga hanya berisi satu kata/suku
kata yang terus
diulang-ulang. Bagi pembaca hal tersebut mungkin membuat puisi tersebut menjadi
tidak dimengerti. Tapi penulis selalu memiliki alasan untuk segala 'keanehan'
yang diciptakannya. Tak ada yang membatasi keinginan penulis dalam menciptakan
sebuah puisi.
Namun beberapa kasus mengenai puisi modern atau puisi cyber belakangan ini
makin memprihatinkan jika ditilik dari pokok dan kaidah puisi itu sendiri yaitu
'pemadatan kata'. Kebanyakan penyair aktif sekarang baik pemula ataupun bukan
lebih mementingkan gaya bahasa dan bukan pada pokok puisi tersebut.
Di dalam puisi juga biasa disisipkan majas yang
membuat puisi itu semakin indah. Majas tersebut bermacam-macam, salah
satunya adalah sarkasme yaitu sindiran
langsung dengan kasar. Di beberapa
daerah di Indonesia puisi juga
sering dinyanyikan dalam bentuk pantun. Mereka
enggan atau tak mau untuk melihat kaidah awal puisi tersebut.
[3]Damhuri
menjelaskan, puncak pengalaman berbahasa yang dimaksud bukan sekadar kegenitan
bersolek dengan kata-kata, bukan sekadar merias diri dengan kafasihan mengungkapkan
kata-kata, tetapi meniupkan semacam nyawa ke dalam kata-kata. “Puisi yang
bernyawa adalah puisi yang mampu membangkitkan kesadaran pembaca untuk tak
habis-habisnya mempelajari, untuk tak tuntas-tuntas memperbincangkannya, hingga
ia senantiasa hidup dan tiada pernah lekang digilas masa,” kata Damhuri.
Sedangkan aspek kebaruan bentuk, rancang-bangun puisi, semacam upaya-upaya
eksperimental guna memperlihatkan bahwa dunia puisi itu penuh dengan dinamika
dari masa ke masa, tidak hanya bertumpu, menerima,
apalagi memberhalakan bentuk-bentuk yang sudah ada.
[4]Menurut Fileski,
puisi yang baik adalah yang tetap berpijak pada realita sekalipun membuka ruang
untuk berimajinasi. Dia mengumpamakan puisi sebagai sebuah potret, gambaran
realita, tetapi dikemas kata-kata berestetika.
Pendapat
lain disampaikan Ken Hanggara, bahwa puisi yang baik itu harus jujur. Jangan
sibuk dengan kata-kata indah karena paling penting adalah diterimanya
pesan-pesan yang terkandung di dalam puisi kepada pembaca.
Sedangkan
menurut Wildan Taufiqurrahman, puisi itu seperti ruh manusia. “Sehingga antara
penulis dan puisinya harus menyatu. Dengan kata lain, puisi yang baik adalah
yang mempresentasikan penulisnya.”
Dikatakan
lagi oleh Fileski, seorang penyair besar sekelas Putu Wijaya (mungkin) tak
pernah juara dalam lomba-lomba puisi. Tapi perjalanan waktu mengantarkan beliau
sebagai salah seorang tokoh sastra yang berpengaruh yang dimiliki negeri
ini. Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan masukan atau komentar dengan sopan :)