Angga Menyapa :)

Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh. Halo para reader sekalian, apa kabar? Semoga semuanya senantiasa dalam keadaan baik, aamiin. Jika sekiranya ada yang bermanfaat dan dapat membantu dari apa yang telah saya postingkan, silahkan boleh dicopy-paste dengan menambahkan sumber atau mereferensikan blog ini untuk menghindari pelanggaran plagiasi. Terimakasih telah berkunjung pada blog saya.

Kamis, 17 November 2016

Puisi Angga Kusumadinata "Lahirnya Kronologi"


LAHIRNYA KRONOLOGI
Oleh: Angga Kusumadinata

1991
Katanya aku berhasil membuka tabir kehidupan
Bersambut gelapnya mentari dan rembulan
Perabaan dan sentuhan kasih memberiku nafas
Tangan-tangan lembut dan kasar merawatku dengan ikhlas
Dan kecamuk tangis, senyum,
derita dan bahagia bersinergi dalam kesederhanaan
Hantaman pemikiran, kenyataan,
dan perasaan tak pernah larut dalam penghinaan

1999
Katanya aku terlambat diperkenalkan dengan bangku sekolah
Namun tak berarti setitik kedewasaan ini berperingkat
Aku hampir tertinggal langkah dari teman-temanku
Namun aku tetap mengeja A, B, C, D...
Dan tetap berhitung 1, 2, 3, 4...
Tak lelah, hingga aku berhasil naik tangga
Hingga sedikit berani aku melukis mimpi di langit dengan bangga

2005
Aku menyadari sendiri titik-titik kedewasaanku
Aku ditakdirkan lulus, melewati lapisan dasar pemikiran
Aku meloncati jendela kebodohan dan membuka pintu penerangan
Aku cukup mengerti keadaan lumrah,
namun aku tak ingin jadi murahan
Walau kecaman fakta,
walau balutan sudra begitu nampak bercitra
Namun batok kepala ini terlampau keras,
menembus benteng-benteng kasta
Mestilah dengkul-dengkul ini menggiring hari-hari yang pasrah
Dan semangatku selalu berdarah di antara barisan pongah
Mestilah keyakinan ini membuktikan salahnya keraguan mereka
Walau anggapan ketidaklayakan begitu terlukis di wajahnya
Karena mustahil memeluk langit,
karena mustahil menggapai bintang
Langit takkan merangkul kejatuhanku,
bintang takkan menggapai keinginanku
Tetaplah aku menakar sabar dan sadar dalam lingkar matra sudra

2008
9 tahun merampungkan dasar-dasar kedunguan
Namun tak berarti jiwa ini cukup terdewasakan
Hanya keinginan ini tetap merangkak,
membengkak di antara kerikil tajam
Seolah sendiri aku berlari
Namun berjuta do’a sejatinya alirkan nadi
Nilai-nilai ekonomi terlampau rendah
Orang-orang berlomba mengasah
Mimpi-mimpi tinggi,
hanya mempertinggi resiko kegilaan dan alergi
Dan ingin kulewati beberapa tangga,
untuk bertengger pada telunjuk kuasa fana
Dan ribuan serabut saraf terputus
di antara fitnah ucap dan tonase beban mental
Tak mau berbicara cinta,
karena salahku belum mampu menjangkau makna
Dalih warna latar,
dalih status sosial, kasta,
dan apa saja itu sebagai peracik alasan
Praktik-praktik moral sosial,
hanya mempertebal muka-muka setan
Dan aku terlampau benci dengan selera keadilan ala mereka
Jutaan batok kepala memutar nalar, mengoyak-koyak hati-nurani,
mencabik-cabik nilai-nilai suci, demi beradu peruntungan duniawi
manfaatkan kedunguan latar-latar sekarat yang ditindas melarat
persembahkan jaring-jaring dan siklus-siklus kebusukan, demi apa?
Demi nafsu,
sebagai komando tunggal atas segala keputusan dan kebijakkan
Mimpi besar apa?
Untuk apa aku berlari dan mengayuh samudra kemunafikan?
Sementara, hati ini berperang antara penolakan dan penerimaan
Dan seberapa lama aku dapat bertahan, kemana aku akan kembali?
Sementara segala keterbatasan takkan sampai pada titik sempurna
Lalu nilai seperti apa yang mampu memulihkan sebuah kebanggaan?
Hanya orang-orang futuristiklah yang mampu memulihkannya
Yang menilai dan menikmati hidup dengan bijak,
Bijak antara pemberian, penerimaan dan penolakkan
Berpegang pada kebenaran dan bercermin pada kesalahan
Memandang pada tempat kembali di masa depan
Maka dengan itu, patutnya kehidupan terbangkitkan
Menatap masa depan dengan menabung kebaikkan di masa kini
Dan ketahuilah, untuk apa kerja kerasku, berfikir kerasku?
Takkan sia-sia jika segala upaya terkoneksi dengan Pusat Kekuatan

2010
Kematian menyambutku dengan isak tangis
Kematian mengabadikan penyesalan dan hati ini meringis
Kemanakan sentuhan itu, kemanakan belaian tangan halus itu?
Doa-doa dan harapan yang kau sisipkan pada ubun-ubunku
Kukenang sungguh, sejauh dan sedalam segala tentangmu
Ataksia aku dalam rapuhnya tulang-tulang kehidupan
Ataksia aku akan sempurnanya kasih yang telah hilang
Aku hanya menatapmu dalam kekakuan dan kekosongan
Dan terakhir kali aku menyentuhmu tanpa kau rasa
Air mata menghukumku dalam kesedihan dan liku-luka
Namun tidaklah cukup, ini adalah awal kebangkitan
Dimana tak ada alasan melarutkan diri dalam kesedihan
Bangkitlah segera aku, menata kembali puing-puing harapan

2011
Tak mudah aku tuntaskan, tentang bodohnya aku saat itu
Dan kenyataan
sedikit ramah menyambutku dan membukakan harapan,
bukan kepastian. Bukan cemerlang,
semua tak semudah dan semulus mimpiku
aku berdiri di atas tanduk setan yang goyah,
dan opsi-opsi kulihat bak ancaman
semua urung kutempuh
dan aku terjatuh pada kelopak nasib
yang mempersempit ruang gerakku
keputusanku saat itu,
kutitipkan harapanku pada riangnya lilin kecil
Senyum mereka, tawa mereka,
semangat mereka itulah pematri kehidupan dalam jiwaku
Dan terkadang semangatku terliarkan kembali,
mimpiku meroket kembali
Namun semua takkan mudah aku tempuh,
fakta-fakta telah lumpuh
Aku hanya dapat mengayunkan langkah
pada sudut-sudut terpinggir peradaban nanah

2016
5 tahun sudah,
sedikit-banyaknya aku belajar dari bocah-bocah payah
yang lebih payah aku,
dan selama itu aku tak pernah absent dari kesiangan
Aku belajar dari berjuta kesalahanku sendiri
Dan kemampuan tertutup sudah oleh kelambatanku sendiri
Bukan mampu, semua karena apa yang dititipkan-Nya
Tak ada unjuk gigi, yang ada hayalah gigit jari
beberapa orang sedikit beruntung karena sedikit kecerdikkannya
Kalaupun ada, aku hanyalah jembatan tali bagi sang oportunis
Setelah sampai, maka diputuslah tali ini tanpa ragu
Namun biarlah,
oportunis itu takkan melewati jembatan yang sama
yang jelas nampak adalah kebodohan dan kemalasanku
Baiknya aku pahami betul ini dan ambil kehidupan kembali
Semua yang telah terjadi,
semoga menjadi pengasah jiwaku yang jitu
Dan harapan tak pernah putus asa tuk selalu berharap
Selama mentari masih menemuiku di sebelah timur
Dan selama kelopak ini masih menatap nisan yang tersungkur
             
                                                                                                       Nekropol, 22 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan masukan atau komentar dengan sopan :)