Pagi sekali adiknya sudah siap dengan mendatangi
kakaknya lebih awal dari biasanya, untuk mengantarkan keberangkatan kakaknya
merantau ke daerah seberang. Hari itu juga kakaknya minta diantarkan sampai
bibir jalan raya. Namun kakaknya berubah pikiran, kali ini ia minta diantarkan
langsung sampai ke terminal. Menurutnya agar lebih cepat sampai, tak perlu
menunggu angkutan yang mengantar ke terminal yang biasanya memakan waktu cukup
lama. Walaupun sebenarnya agak berat hati, karena adiknya belum terbiasa
memakai motor ke kota.
“Tenang aja kali bawa motornya, ini kan jalanan berlubang!?”
Kakaknya selalu mengingatkannya di sepanjang jalan yang mengampul-ampul,
adiknya hanya diam. Tiga puluh menit sudah melewati jalanan yang berlubang,
akhirnya keduanya tiba di mulut jalan raya yang lebar nan mulus.
“Dik, mulai dari sini kamu harus
lebih hati-hati, soalnya jalanan sangat ramai dan banyak persimpangan.”
Kakaknya mengingatkan kembali. Seperti sebelumnya, adiknya hanya diam. Terpikir
oleh kakaknya mengambil alih kendali motor, namun ia tak tega pada adiknya yang
pada hari itu sangat ingin dan bersemangat mengantarkannya.
“Awas...!
Hati-hati...!” Kembali kakaknya mengingatkan saat adiknya melintasi jalan yang
ramai dan tiba-tiba ada mobil melaju kencang nyaris meyerepetnya dari samping
belakang. Kembali adiknya hanya diam. Sikap diamnya itu lebih kepada
ketidaksenangannya karena ia merasa dianggap tidak bisa memakai motor.
“Kalau mau pelan jangan terlalu ke
tengah! Yang lain kagok terhalangi kamu, udah saja agak ke sisi.” Kembali kakaknya
harus mengingatkan. “Iya, aku tau!” Adiknya mulai menampakkan kekesalannya. “Kakak
cuman mengingatkan...” dengan nada rendah kakaknya menenangkan emosinya.
Baru lima menit di jalan yang ramai diboncengi
adiknya, kakaknya sudah gerah dengan sikap adiknya yang seolah tidak senang
diingatkan olehnya. “Awas mobil! Aku bilang gimana, kalau mau pelan di sisi
kiri saja gak usah ke tengah!” Kakaknya tak bosan mengingatkan, apalagi adiknya
baru saja nyaris terserempet lagi oleh Carry
Bak. “Iya, ya...!” Adiknya membalas dengan nada yang tidak mengenakkan.
Dengan sedikit emosi adiknya membawa motor kencang, padahal ia jarang sekali
membawa motor dengan kencang terlebih di jalan raya yang baru ia kenal.
Kemudian kembali kakaknya tak henti mengingatkan adiknya.
“Di depan ada bundaran persimpangan, kamu ikuti saja Truk yang didepanmu itu karena
arahnya sama.” “Iya,” dengan singkat adiknya menjawab. Namun adiknya cukup
tenang juga kali ini, ia menuruti apa yang disarankan kakaknya karena memang ia
tidak tahu.
Adiknya memacu motornya dengan kencang di jalan yang
lurus nan mulus. Kakaknya membiarkan saja, karena dirasa tidak berbahaya.
Beberapa meter lagi kakaknya menepuk pundak adiknya, “Awas! lampu merah di
depanmu!” “Chiiiitt.....!!!” suara dari rem yang mendadak diinjak dan ditekan
menyayat telinga. Adiknya terpaksa menerobos lampu merah karena laju motor tak
dapat dikendalikan lagi dengan berhenti mendadak pada jarak yang hanya lima
meter. “Hey! gila kamu, ini lampu merah...!” Kakaknya membentak sambil
menepuk-nepuk punggung adiknya. Masih beruntung tak ada kendaraan yang sedang
melintas persis didepannya. Kakaknya melihat kiri-kanan jalan, ia takut hal itu
dilihat polisi. Waktu itu polisi belum ada. Beruntung lagi keduanya selamat dari
maut dan polisi.
“Kan sudah kubilang, kamu itu masih awam di jalanan
kota seperti ini. Jadi jangan sok-soan deh...! Sini aku saja yang bawa!” gondok
sudah kakaknya berulangkali mengingatkan. “Udah aku saja Kak, iya kali ini aku
akan lebih hati-hati.” Kembali lagi dikencangkan laju motornya, dan memang kali
ini adiknya lebih hati-hati. Tak lama, “awas lampu merah lagi!” adiknya
berhenti perlahan. “Kalau mau lurus ambil ke sebelah kanan berhentinya.” Agak
tenang kakaknya terus mengingatkan. “Iya, iya aku tau.” Adiknya tetap tidak mau
mengalah atas peringatan kakaknya.
Benar. Kakaknya sudah sangat jengkel, kali ini ia
biarkan saja adiknya. Ia dongkol dengan perkataan “Iya, iya aku tau.” Sedangkan
adiknya merasa menang karena kakaknya tak lagi berkomentar apapun. Merasa jago,
adiknya malah ngebut.
Kali ini walaupun sudah teramat dongkol terpaksa
kakaknya harus menepuk pundak adiknya dengan keras mengingatkannya, ketika
jarak sekitar 100 meter di depannya terlihat dua mobil sport yang sedang kejar-kejaran melahap setiap mobil besar yang
dilaluinya dengan kecepatan tinggi. Sedangkan adiknya baru tersadar menyadari
bahaya ketika jarak di depannya sudah 30 meter, di belakangnya membayangi mobil
bus yang juga ngebut. Adiknya mengerem motor yang melaju kencang pada jarak 22
meter, keduanya tak kuasa menghindar.
“Tiiiiiiiiiiiiid.....! Chhiiiiittt.....!
Sriiiiittt....! Jgeerr...! Jbbeet...! Bbuk...! Praay...! Bruuk...! Praay...!
Dumm.....! Sssekk..!” Tabrakan keras beruntun terjadi, jeritan histeris
terdengar dari setiap isi mobil dan semua yang menyaksikan. Semua yang
menyaksikan dari luar terkesima sejenak lalu kerumunan itu berlarian histeris
ke tempat kejadian. Tak lama mobil-mobil polisi tiba di tempat, menyusul mobil
pemadam kebakaran akibat mobil bus menghantam tangki bahan bakar yang
menghasilkan percikan api dan sopir bus yang merokok, dekat Pom bahan bakar. Radius
kecelakaan sekitar 100 meter dan menelan korban cukup banyak. Jalanan macet
total hingga 30 kilometer.
Sesosok tubuh dengan kedua kakinya yang patah terpaku-beku
menampari air matanya, melihat tubuh kakaknya terpanggang pada pagar rumah
megah tak bernyawa lagi. Sedangkan motornya menjemput api. Teresot-esot adiknya
memburu mayat disertai isak tangis yang terus bergerimis, hatinya pesimis.
-0-
Oleh: Angga Kusumadinata