Angga Menyapa :)

Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh. Halo para reader sekalian, apa kabar? Semoga semuanya senantiasa dalam keadaan baik, aamiin. Jika sekiranya ada yang bermanfaat dan dapat membantu dari apa yang telah saya postingkan, silahkan boleh dicopy-paste dengan menambahkan sumber atau mereferensikan blog ini untuk menghindari pelanggaran plagiasi. Terimakasih telah berkunjung pada blog saya.

Rabu, 07 Desember 2016

IYA! AKU TAU! (Cerpen)

Pagi sekali adiknya sudah siap dengan mendatangi kakaknya lebih awal dari biasanya, untuk mengantarkan keberangkatan kakaknya merantau ke daerah seberang. Hari itu juga kakaknya minta diantarkan sampai bibir jalan raya. Namun kakaknya berubah pikiran, kali ini ia minta diantarkan langsung sampai ke terminal. Menurutnya agar lebih cepat sampai, tak perlu menunggu angkutan yang mengantar ke terminal yang biasanya memakan waktu cukup lama. Walaupun sebenarnya agak berat hati, karena adiknya belum terbiasa memakai motor ke kota.
“Tenang aja kali bawa motornya, ini kan jalanan berlubang!?” Kakaknya selalu mengingatkannya di sepanjang jalan yang mengampul-ampul, adiknya hanya diam. Tiga puluh menit sudah melewati jalanan yang berlubang, akhirnya keduanya tiba di mulut jalan raya yang lebar nan mulus.
            “Dik, mulai dari sini kamu harus lebih hati-hati, soalnya jalanan sangat ramai dan banyak persimpangan.” Kakaknya mengingatkan kembali. Seperti sebelumnya, adiknya hanya diam. Terpikir oleh kakaknya mengambil alih kendali motor, namun ia tak tega pada adiknya yang pada hari itu sangat ingin dan bersemangat mengantarkannya.
“Awas...! Hati-hati...!” Kembali kakaknya mengingatkan saat adiknya melintasi jalan yang ramai dan tiba-tiba ada mobil melaju kencang nyaris meyerepetnya dari samping belakang. Kembali adiknya hanya diam. Sikap diamnya itu lebih kepada ketidaksenangannya karena ia merasa dianggap tidak bisa memakai motor.
            “Kalau mau pelan jangan terlalu ke tengah! Yang lain kagok terhalangi kamu, udah saja agak ke sisi.” Kembali kakaknya harus mengingatkan. “Iya, aku tau!” Adiknya mulai menampakkan kekesalannya. “Kakak cuman mengingatkan...” dengan nada rendah kakaknya menenangkan emosinya.  
Baru lima menit di jalan yang ramai diboncengi adiknya, kakaknya sudah gerah dengan sikap adiknya yang seolah tidak senang diingatkan olehnya. “Awas mobil! Aku bilang gimana, kalau mau pelan di sisi kiri saja gak usah ke tengah!” Kakaknya tak bosan mengingatkan, apalagi adiknya baru saja nyaris terserempet lagi oleh Carry Bak. “Iya, ya...!” Adiknya membalas dengan nada yang tidak mengenakkan. Dengan sedikit emosi adiknya membawa motor kencang, padahal ia jarang sekali membawa motor dengan kencang terlebih di jalan raya yang baru ia kenal.
Kemudian kembali kakaknya tak henti mengingatkan adiknya. “Di depan ada bundaran persimpangan, kamu ikuti saja Truk yang didepanmu itu karena arahnya sama.” “Iya,” dengan singkat adiknya menjawab. Namun adiknya cukup tenang juga kali ini, ia menuruti apa yang disarankan kakaknya karena memang ia tidak tahu.
Adiknya memacu motornya dengan kencang di jalan yang lurus nan mulus. Kakaknya membiarkan saja, karena dirasa tidak berbahaya. Beberapa meter lagi kakaknya menepuk pundak adiknya, “Awas! lampu merah di depanmu!” “Chiiiitt.....!!!” suara dari rem yang mendadak diinjak dan ditekan menyayat telinga. Adiknya terpaksa menerobos lampu merah karena laju motor tak dapat dikendalikan lagi dengan berhenti mendadak pada jarak yang hanya lima meter. “Hey! gila kamu, ini lampu merah...!” Kakaknya membentak sambil menepuk-nepuk punggung adiknya. Masih beruntung tak ada kendaraan yang sedang melintas persis didepannya. Kakaknya melihat kiri-kanan jalan, ia takut hal itu dilihat polisi. Waktu itu polisi belum ada. Beruntung lagi keduanya selamat dari maut dan polisi.
“Kan sudah kubilang, kamu itu masih awam di jalanan kota seperti ini. Jadi jangan sok-soan deh...! Sini aku saja yang bawa!” gondok sudah kakaknya berulangkali mengingatkan. “Udah aku saja Kak, iya kali ini aku akan lebih hati-hati.” Kembali lagi dikencangkan laju motornya, dan memang kali ini adiknya lebih hati-hati. Tak lama, “awas lampu merah lagi!” adiknya berhenti perlahan. “Kalau mau lurus ambil ke sebelah kanan berhentinya.” Agak tenang kakaknya terus mengingatkan. “Iya, iya aku tau.” Adiknya tetap tidak mau mengalah atas peringatan kakaknya.
Benar. Kakaknya sudah sangat jengkel, kali ini ia biarkan saja adiknya. Ia dongkol dengan perkataan “Iya, iya aku tau.” Sedangkan adiknya merasa menang karena kakaknya tak lagi berkomentar apapun. Merasa jago, adiknya malah ngebut.
Kali ini walaupun sudah teramat dongkol terpaksa kakaknya harus menepuk pundak adiknya dengan keras mengingatkannya, ketika jarak sekitar 100 meter di depannya terlihat dua mobil sport yang sedang kejar-kejaran melahap setiap mobil besar yang dilaluinya dengan kecepatan tinggi. Sedangkan adiknya baru tersadar menyadari bahaya ketika jarak di depannya sudah 30 meter, di belakangnya membayangi mobil bus yang juga ngebut. Adiknya mengerem motor yang melaju kencang pada jarak 22 meter, keduanya tak kuasa menghindar.
“Tiiiiiiiiiiiiid.....! Chhiiiiittt.....! Sriiiiittt....! Jgeerr...! Jbbeet...! Bbuk...! Praay...! Bruuk...! Praay...! Dumm.....! Sssekk..!” Tabrakan keras beruntun terjadi, jeritan histeris terdengar dari setiap isi mobil dan semua yang menyaksikan. Semua yang menyaksikan dari luar terkesima sejenak lalu kerumunan itu berlarian histeris ke tempat kejadian. Tak lama mobil-mobil polisi tiba di tempat, menyusul mobil pemadam kebakaran akibat mobil bus menghantam tangki bahan bakar yang menghasilkan percikan api dan sopir bus yang merokok, dekat Pom bahan bakar. Radius kecelakaan sekitar 100 meter dan menelan korban cukup banyak. Jalanan macet total hingga 30 kilometer.
Sesosok tubuh dengan kedua kakinya yang patah terpaku-beku menampari air matanya, melihat tubuh kakaknya terpanggang pada pagar rumah megah tak bernyawa lagi. Sedangkan motornya menjemput api. Teresot-esot adiknya memburu mayat disertai isak tangis yang terus bergerimis, hatinya pesimis.
-0-

Oleh: Angga Kusumadinata


Kamis, 17 November 2016

Puisi Angga Kusumadinata "Lahirnya Kronologi"


LAHIRNYA KRONOLOGI
Oleh: Angga Kusumadinata

1991
Katanya aku berhasil membuka tabir kehidupan
Bersambut gelapnya mentari dan rembulan
Perabaan dan sentuhan kasih memberiku nafas
Tangan-tangan lembut dan kasar merawatku dengan ikhlas
Dan kecamuk tangis, senyum,
derita dan bahagia bersinergi dalam kesederhanaan
Hantaman pemikiran, kenyataan,
dan perasaan tak pernah larut dalam penghinaan

1999
Katanya aku terlambat diperkenalkan dengan bangku sekolah
Namun tak berarti setitik kedewasaan ini berperingkat
Aku hampir tertinggal langkah dari teman-temanku
Namun aku tetap mengeja A, B, C, D...
Dan tetap berhitung 1, 2, 3, 4...
Tak lelah, hingga aku berhasil naik tangga
Hingga sedikit berani aku melukis mimpi di langit dengan bangga

2005
Aku menyadari sendiri titik-titik kedewasaanku
Aku ditakdirkan lulus, melewati lapisan dasar pemikiran
Aku meloncati jendela kebodohan dan membuka pintu penerangan
Aku cukup mengerti keadaan lumrah,
namun aku tak ingin jadi murahan
Walau kecaman fakta,
walau balutan sudra begitu nampak bercitra
Namun batok kepala ini terlampau keras,
menembus benteng-benteng kasta
Mestilah dengkul-dengkul ini menggiring hari-hari yang pasrah
Dan semangatku selalu berdarah di antara barisan pongah
Mestilah keyakinan ini membuktikan salahnya keraguan mereka
Walau anggapan ketidaklayakan begitu terlukis di wajahnya
Karena mustahil memeluk langit,
karena mustahil menggapai bintang
Langit takkan merangkul kejatuhanku,
bintang takkan menggapai keinginanku
Tetaplah aku menakar sabar dan sadar dalam lingkar matra sudra

2008
9 tahun merampungkan dasar-dasar kedunguan
Namun tak berarti jiwa ini cukup terdewasakan
Hanya keinginan ini tetap merangkak,
membengkak di antara kerikil tajam
Seolah sendiri aku berlari
Namun berjuta do’a sejatinya alirkan nadi
Nilai-nilai ekonomi terlampau rendah
Orang-orang berlomba mengasah
Mimpi-mimpi tinggi,
hanya mempertinggi resiko kegilaan dan alergi
Dan ingin kulewati beberapa tangga,
untuk bertengger pada telunjuk kuasa fana
Dan ribuan serabut saraf terputus
di antara fitnah ucap dan tonase beban mental
Tak mau berbicara cinta,
karena salahku belum mampu menjangkau makna
Dalih warna latar,
dalih status sosial, kasta,
dan apa saja itu sebagai peracik alasan
Praktik-praktik moral sosial,
hanya mempertebal muka-muka setan
Dan aku terlampau benci dengan selera keadilan ala mereka
Jutaan batok kepala memutar nalar, mengoyak-koyak hati-nurani,
mencabik-cabik nilai-nilai suci, demi beradu peruntungan duniawi
manfaatkan kedunguan latar-latar sekarat yang ditindas melarat
persembahkan jaring-jaring dan siklus-siklus kebusukan, demi apa?
Demi nafsu,
sebagai komando tunggal atas segala keputusan dan kebijakkan
Mimpi besar apa?
Untuk apa aku berlari dan mengayuh samudra kemunafikan?
Sementara, hati ini berperang antara penolakan dan penerimaan
Dan seberapa lama aku dapat bertahan, kemana aku akan kembali?
Sementara segala keterbatasan takkan sampai pada titik sempurna
Lalu nilai seperti apa yang mampu memulihkan sebuah kebanggaan?
Hanya orang-orang futuristiklah yang mampu memulihkannya
Yang menilai dan menikmati hidup dengan bijak,
Bijak antara pemberian, penerimaan dan penolakkan
Berpegang pada kebenaran dan bercermin pada kesalahan
Memandang pada tempat kembali di masa depan
Maka dengan itu, patutnya kehidupan terbangkitkan
Menatap masa depan dengan menabung kebaikkan di masa kini
Dan ketahuilah, untuk apa kerja kerasku, berfikir kerasku?
Takkan sia-sia jika segala upaya terkoneksi dengan Pusat Kekuatan

2010
Kematian menyambutku dengan isak tangis
Kematian mengabadikan penyesalan dan hati ini meringis
Kemanakan sentuhan itu, kemanakan belaian tangan halus itu?
Doa-doa dan harapan yang kau sisipkan pada ubun-ubunku
Kukenang sungguh, sejauh dan sedalam segala tentangmu
Ataksia aku dalam rapuhnya tulang-tulang kehidupan
Ataksia aku akan sempurnanya kasih yang telah hilang
Aku hanya menatapmu dalam kekakuan dan kekosongan
Dan terakhir kali aku menyentuhmu tanpa kau rasa
Air mata menghukumku dalam kesedihan dan liku-luka
Namun tidaklah cukup, ini adalah awal kebangkitan
Dimana tak ada alasan melarutkan diri dalam kesedihan
Bangkitlah segera aku, menata kembali puing-puing harapan

2011
Tak mudah aku tuntaskan, tentang bodohnya aku saat itu
Dan kenyataan
sedikit ramah menyambutku dan membukakan harapan,
bukan kepastian. Bukan cemerlang,
semua tak semudah dan semulus mimpiku
aku berdiri di atas tanduk setan yang goyah,
dan opsi-opsi kulihat bak ancaman
semua urung kutempuh
dan aku terjatuh pada kelopak nasib
yang mempersempit ruang gerakku
keputusanku saat itu,
kutitipkan harapanku pada riangnya lilin kecil
Senyum mereka, tawa mereka,
semangat mereka itulah pematri kehidupan dalam jiwaku
Dan terkadang semangatku terliarkan kembali,
mimpiku meroket kembali
Namun semua takkan mudah aku tempuh,
fakta-fakta telah lumpuh
Aku hanya dapat mengayunkan langkah
pada sudut-sudut terpinggir peradaban nanah

2016
5 tahun sudah,
sedikit-banyaknya aku belajar dari bocah-bocah payah
yang lebih payah aku,
dan selama itu aku tak pernah absent dari kesiangan
Aku belajar dari berjuta kesalahanku sendiri
Dan kemampuan tertutup sudah oleh kelambatanku sendiri
Bukan mampu, semua karena apa yang dititipkan-Nya
Tak ada unjuk gigi, yang ada hayalah gigit jari
beberapa orang sedikit beruntung karena sedikit kecerdikkannya
Kalaupun ada, aku hanyalah jembatan tali bagi sang oportunis
Setelah sampai, maka diputuslah tali ini tanpa ragu
Namun biarlah,
oportunis itu takkan melewati jembatan yang sama
yang jelas nampak adalah kebodohan dan kemalasanku
Baiknya aku pahami betul ini dan ambil kehidupan kembali
Semua yang telah terjadi,
semoga menjadi pengasah jiwaku yang jitu
Dan harapan tak pernah putus asa tuk selalu berharap
Selama mentari masih menemuiku di sebelah timur
Dan selama kelopak ini masih menatap nisan yang tersungkur
             
                                                                                                       Nekropol, 22 Agustus 2016